Stasiun kereta pada jam-jam seperti ini adalah tempat
berkumpulnya berbagai pemandangan yang jika dipikirkan dan direnungkan sepenuh
hati, akan memaksa orang untuk tetap berpijak di bumi.
Tidak peduli gadget apa yang sedang digenggam, baju dan
sepatu apa yang melekat di badan, atau berapa banyak kartu kredit di
dompet. Tidak masalah sudah seberapa
banyak pertumbuhan ekonomi negara, seberapa jauh tingkat inflasi turun,
seberapa besar investasi asing masuk, atau seberapa dalam penetrasi internet.
Stasiun kereta ini masih sama seperti sepuluh tahun lalu. Tak banyak perubahan
terjadi, selain cat hijau di sepanjang tepian peron yang mulai sompel di sana
sini, papan bertuliskan nama stasiun dan misi PTKAI yang poin terakhirnya
berbunyi:
Menjadi perkeretaapian terbaik yang memenuhi harapan
stakeholdernya.
Oh, dan tentu saja, beberapa petugas stasiun yang kini
berseragam merah marun dengan aksen batik merah muda.
Di sini, roda kehidupan berjalan lebih lambat.
****
Ting, ting, ting, ting!!!
Lonceng tanda akan ada kereta segera melintas. Aku
menghindar dari kerumunan orang yang sedang bergerak ke kiri dan ke kanan,
sibuk mengatur letak berdiri agar pas dengan letak berhentinya pintu kereta,
bersiap untuk terlibat dalam pertarungan rutin memperebutkan jalan masuk ke
dalam gerbong. Kalau kebetulan berada di
dekat kerumunan itu, memang sebaiknya menghindar. Meleng sedikit saja, badan
pasti akan terbawa arus, entah itu terdorong lalu terjengkang, atau terbawa
masuk ke dalam gerbong (dengan kemungkinan tipis untuk bisa keluar lagi).
Aku melipir ke belakang dan duduk di salah satu bangku besi
panjang berwarna hijau karatan. Tempat yang tepat untuk menghisap sebatang
rokok sambil termenung.
Pertarungan sengit dimulai. Orang-orang sibuk mendorong dan
didorong. Petugas stasiun sibuk menghalau kerumunan yang menumpuk di satu
pintu. Para copet di pintu memasang tampang polos ketika diteriaki orang-orang
supaya ‘minggir’.
Kereta masih belum berangkat. Orang-orang sudah terjejal di
dalam gerbong, tumpah ruah hingga ke pintu. Dan untuk yang kesekian kalinya aku
mengalami saat-saat kikuk, berhadapan dengan wajah-wajah lelah para penumpang,
tanpa bisa menghindar.
Aku menghembuskan asap rokok sambil membuang muka.
Duduk di sini, di antara para pedagang di stasiun ini, siapa
yang sanggup terus menyombongkan diri atau mengeluh?
Aku boleh saja meracau setiap hari tentang jalanan macet,
pekerjaan menumpuk, hujan deras tak berperasaan, panas terik menggila. Tapi
sungguh, itu bukan apa-apa.
Di depanku, tepat di atas rel yang baru saja dilintasi
kereta, berdiri beberapa orang ibu-ibu berbadan kecil dan kurus, berkulit hitam
legam, mengenakan kebaya lecek dan kain gendong. Di dekat mereka bertumpuk
karung-karung sayuran yang ukurannya lebih besar dari badan mereka. Dengan
gagah mereka mengangkat karung-karung sayuran itu ke atas pundaknya, sambil
berteriak memanggil beberapa rekannya yang menunggu di peron untuk membantu.
Tidak jauh di sampingku, duduk teronggok seorang perempuan
dengan tiga orang anaknya yang masih
kecil. Mereka dekil dan lusuh dari ujung kepala sampai ujung kaki:
rambut hitam kusam dan gimbal, kulit hitam berdaki, ujung-ujung kuku hitam
kelam, baju entah berwarna apa, tapi hitam kotoran mendominasi. Anak yang
paling kecil sibuk mengaduk-aduk tong sampah di dekatnya. Si ibu berteriak
marah-marah, melarang anaknya main di sana. Ditariknya kuping si bungsu dan
digeretnya kembali ke lantai tempat mereka berkumpul. Si bungsu menjerit. Si
Ibu menampar. Si sulung menghitung uang dalam dompet kertas dari sisa majalah.
Si tengah membereskan kantong entah apa yang nampaknya berisi dagangan mereka.
Dari curi-curi dengar, tahulah aku bahwa anak beranak ini
bekerja sebagai pengumpul sisa kardus di pasar di sebelah stasiun.
Stasiun itu sebenarnya dipagar dengan besi terali setinggi
kepala. Tapi nampaknya tak ada yang menghiraukan keberadaan pagar-pagar itu.
Mungkin ia terbuat dari besi padat. Keras dan kokoh. Namun kewibawaannya sudah
hilang dalam hitungan hari. Tidak sampai
seminggu setelah pagar selesai di cat, beberapa sambungan menghilang dari
tempatnya. Satu persatu. Disusul kemudian dengan menghilangnya besi-besi padat
yang adalah pagar itu sendiri. Sekarang pagar stasiun tak berdaya, karatan dan
ompong di sana sini. Di beberapa bagian tampak sudah dilas dan dilubangi sesuai
kebutuhan para pedagang yang berjualan di baliknya.
Pedagang memang tak boleh lagi ada di peron. Tapi roda
perdagangan tidak boleh terhenti. Transaksi tetap terjadi di sana sini, melalui
bolongan-bolongan kecil itu, antara tukang mi instan dengan pembeli yang
kelaparan, antara tukang tisu dengan mbak-mbak yang ingin membersihkan kakinya
dari debu stasiun, antara tukang rokok dengan, ya, orang semacam aku ini. Orang
yang suka duduk termenung di stasiun sambil menyalurkan kegundahan hati lewat
hembusan asap rokok.
Di balik pagar-pagar itu juga bertumpuklah warung-warung
dengan bangunan nyaris rubuh. Pengunjungnya adalah para kuli, pemilik
lapak-lapak di pinggir jalan menuju pasar, sekumpulan anak-anak punk berbaju
hitam dengan riasan hitam, serta pengaman-pengamen kecil bermodalkan botol air
kemasan berisi pasir atau beras.
Lalu ada Udin dan Asep.
Udin dan Asep adalah kakak beradik pedagang asongan yang
biasa hilir mudik di kereta. Ibunya berjualan lauk matang di ujung stasiun, di
mana pagar besi sudah habis terkoyak wibawanya, hingga tak sanggup lagi menahan
laju orang-orang yang ingin mengambil jalan pintas menuju stasiun.
Biasanya aku menemukan mereka di dalam gerbong kereta,
sedang mondar mandir berdagang asongan, atau berjongkok-jongkok di antara
kaki-kaki penumpang, menyapu lantai kereta dengan sapu lidi kurus kering yang
hanya terdiri dari beberapa lembar lidi saja.
Kalau kebetulan singgah di stasiun itu menjelang tengah
hari, aku akan mendapati Udin dan Asep sedang bersiap untuk berangkat ke
sekolah. Mereka mandi di pancuran di dekat WC umum. Selesai mandi, mereka akan
menyisir rambutnya dengan tangan, lalu mengenakan seragam sekolah yang kumal
dan kebesaran.
Ada kalanya juga kudapati mereka sedang makan siang bersama
ibunya. Makan siangnya, yang berhasil kuintip, adalah nasi dengan tumis
kangkung. Di dalam satu plastik kresek yang dikeroyok bertiga.
Seperti juga penghuni stasiun lainnya, Udin dan Asep juga
selalu membuat kening orang berkerenyit ketika melihat mereka. Mereka kurus
kering, dekil, dan intimidating.
Intimidating, karena kesulitan hidupnya tampak begitu nyata,
yang membuat sorot mata mereka tajam dan menyakitkan, kalau kau kebetulan
beradu pandang dengan mereka. Tatapannya membuatmu bertanya-tanya, adakah kau
punya andil dalam penderitaan mereka? Apakah kau bersalah, berdiri di stasiun
nestapa itu dengan baju kerjamu yang, meskipun tidak selalu rapi dan licin,
namun menunjukkan bahwa kau adalah kelas menengah pekerja yang bermartabat?
Apakah kau dan mereka terlibat dalam perjuangan hidup yang sama?
Aku tak pernah berani beradu pandang dengan penghuni stasiun
yang manapun. Kalau ada peminta-minta
mendekat dan meminta uang, biasanya kuberikan sambil menunduk, berpura-pura
mencari sesuatu dalam tas.
Kenapa?
Entahlah. Kurasa karena aku malu. Malu karena kurasa uang
tak seberapa yang kuberikan bukanlah untuk membantu mereka, tapi lebih untuk
membayar rasa kasihan yang sungguh membuat hati tidak nyaman.
Udin dan Asep tak pernah meminta-minta.
Mereka pernah mencoba sekali meminta padaku. Lalu tertangkap
basah oleh ibunya. Sambil mengomel, si ibu menjewer kuping Udin dan Asep,
menggeret mereka menjauh dariku. Sejak itu, setiap singgah di stasiun, selalu kusempatkan
mencarai Udin dan Asep. Kadang aku mendatangi tempat ibunya berjualan lauk
matang, untuk memberikan uang sekadarnya.
Untuk uang jajan anak-anak, atau sekadar bantu-bantu uang
sekolah. Tolong jangan ditolak ya Bu, kataku sebelum si Ibu membuka mulutnya
untuk protes.
Kau tahu kan tidak ada gunanya memberi mereka uang?
Begitu komentar beberapa teman yang tidak setuju dengan
kebiasaanku memberikan uang pada peminta-minta atau anak-anak yang mengamen.
Aku kasihan, tidak tega melihatnya.
Ini bukan masalah tega atau tidak tega, Dal. Kau sedang
melestarikan kebiasaan buruk yang hanya akan membuat masalah mereka semakin
berlarut-larut.
Tapi perut tidak kenal program jangka panjang, jawabku lagi.
Kalau sudah begitu, mereka lalu diam. Aku juga diam. Dugaanku,
pada akhirnya kami sama-sama merasa tidak yakin, pendapat siapa sebetulnya yang
benar.
Tapi kurasa, Ibu Udin dan Asep sesungguhnya sangatlah
bermartabat. Meskipun bajunya tak serapi dan selicin para komuter yang singgah
di stasiun ini. Tapi perjuangannya tak kalah hebat. Paling tidak, lebih hebat
dariku, yang meskipun katanya terhitung golongan kelas mengenah ibukota dari
kalangan pekerja, tapi hanya bisa terduduk diam sambil mengepulkan asap rokok,
mengasihani para penghuni stasiun, dan melestarikan kebiasaan buruk para
peminta-minta, tanpa pernah bisa memutuskan, apakah yang kulakukan benar atau
salah.
***
Kereta yang tadi diserbu kumpulan manusia kini sudah
berlalu. Peron agak sedikit lengang. Hiruk pikuk orang yang lalu lalang
berkurang. Tinggal beberapa orang duduk saling berjauhan di bangku besi panjang
karatan, masih menunggu kereta berikutnya datang.
Aku sedang membungkuk untuk melempar sisa puntung rokok ke
tempat sampah, ketika sepasang kaki kecil melesat di hadapanku, lalu tersandung
di kakiku yang sedang terjulur ke depan. Kuangkat kepalaku. Udin terjajar beberapa langkah ke depan,
tapi kemudian berhasil menjaga keseimbangan dan kembali berdiri. Ia menoleh
menatapku sekilas. Lalu kembali melesat ke balik karung-karung sayur, dan
menghilang ke dalam pasar.
Dari ujung peron terlihat kerumunan orang berlari dan
berteriak-teriak.
“Copeet!!! Tangkap!!! Itu dia lari ke ujung!!”
“Hoi! Jangan lari hoi!”
Teriakan bersahut-sahutan terdengar makin lama makin
kencang.
Kerumunan itu berhenti tepat di depanku. Salah seorang dari
kerumunan itu, laki-laki berbadan besar dengan rambut klimis mencuat runcing di
berbagai sisi bertanya padaku:
“Bang, lihat anak kecil pakai baju hitam celana merah lewat
sini gak tadi?”
Aku tercekat. Untuk beberapa saat peperangan serius terjadi
di dalam kepalaku. Mengumpulkan dan menganalisa. Menyimpulkan. Tadi Udin memang
memakai baju hitam dan celana merah. Apa dia copetnya? Tapi apa iya dia mencopet? Masa iya dia
mencopet?
“Dia ngambil HP saya Bang. Lihat gak ke mana larinya?”,
tanya si pria klimis lagi.
Otakku berputar. Keputusan harus cepat dibuat.
“Mmm, tadi memang ada anak kecil lari lewat sini, Bang. Tapi
saya gak perhatikan bajunya. Dia lari ke arah jalan raya sepertinya”.
Deg.
Aku merasa bongkahan es sebesar batu kali dijejalkan ke
dalam tenggorokanku. Apa itu tadi? Apa itu dia yang bernama kebohongan?
“Wah, ke jalan raya ya?”
Laki-laki berbadan besar dengan rambut klimis itu
berpandang-pandangan dengan temannya.
“Ayo kita coba kejar aja, pasti belum jauh itu larinya”,
salah seorang temannya mencoba menyemangati.
Sambil mengucapkan terima kasih, kerumunan itu berlalu dari
hadapanku. Tidak terlalu bersemangat seperti sebelumnya.
Jalan raya yang dimaksud adalah sebuah perempatan besar di
bawah fly over, dengan banyak gang kecil di sekitarnya. Si copet pasti sudah
menghilang ke salah satu gang kecil itu, dan nyaris tak mungkin mencarinya di
sana.
Pak petugas stasiun ternyata tidak ikut melanjutkan
pengejaran. Ia masih berdiri di depanku. Sambil menerawang ke arah kerumunan
pengejar yang sudah menjauh, ia berkata padaku.
“Yah, kalau mereka rajin sih, cari saja besok HP-nya di
penadah di sekitar sini. Paling juga sudah ada yang jual.”
Aku tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Memang betul
begitu adanya. Tapi aku merasa gugup dan salah tingkah. Aku merasa seperti
tertuduh. Aku merasa Pak petugas stasiun sedang menyampaikan pesan tersirat
kepadaku. Kalimat berkode. Tatapan mata menuduh. Meskipun ternyata itu semua hanya bayanganku saja. Pak
petugas stasiun sepertinya tidak butuh ditanggapi. Karena begitu selesai
mengatakan itu, ia berjalan kembali ke posnya dengan santai.
Just another day at the station.
Aku melirik Ibu Udin dan Asep yang sedari tadi duduk di
dekat tempatku duduk, sedikit tertutupi tong sampah. Asep bersembunyi di
belakang sambil memegangi baju ibunya. Perempuan dengan badan kurus kering itu
hanya diam menatapku. Jika biasanya raut wajahnya keras menunjukkan semangat
juang menaklukkan hari demi hari penuh debu dan kotoran di stasiun, kali ini ia
adalah seorang ibu yang kecewa dan bersedih.
Aku tidak tahu harus bicara apa padanya. Dan kulihat dia
juga sepertinya tidak tahu apakah ia harus bicara atau tidak. Aku tidak percaya kalau Udin mencopet. Buat apa dia
susah-susah setiap hari membagi waktu antara membantu ibunya jualan lauk matang
di peron, berdagang asongan di kereta, mandi dengan air dari pancuran di balik
gerbong, pakai baju dekil kebesaran dan berangkat sekolah, kalau akhirnya dia
mencopet juga.
Tapi suara lain dalam hatiku berbisik.
Si Udin tadi memang nampaknya sedang berlari dari sesuatu.
Dan dia memang terlihat ketakutan. Tapi itu mungkin hanya perasaanku saja. Mungkin kalau tidak ada yang bertanya padaku, aku tidak akan
berpikir kalau Udin sudah mencopet.
Tapi bukankah itu semakin menguatkan, bahwa Udin tadi memang
mencurigakan?
Kalau si Udin memang benar mencopet, berarti aku sudah
melindungi pencopet. Berarti aku sudah menjadi kaki tangan pencopet.
Ah, tapi mana bisa aku menuduhnya begitu saja. Ada puluhan
pencopet berkeliaran di stasiun ini setiap harinya. Bisa saja salah satu dari
mereka yang sudah mengambil HP orang tadi. Toh bukan pemandangan aneh juga
melihat Udin berlarian di sepanjang peron. Dan dia memang tidak pernah bicara banyak
juga padaku.
Aku teringat lagi tatapan matanya tadi.
“Makasih ya Bang.”
Tiba-tiba si Ibu berbicara.
Dan aku merasakan satu bongkahan es sebesar batu kali
kembali dijejalkan ke dalam tenggorokanku.
*Antara Bintaro-Manggarai-Depok, ketika mengingat Udin dan Asep*
No comments:
Post a Comment