Luna,
Bukankah setiap hidup layak dipertahankan, seperti apapun itu. Bukankah memang seperti itulah kita menjalaninya. Berjalan, terjatuh, dan tersungkur. Terluka sesekali. Atau bahkan ribuan kali. Untuk kemudian bangkit lagi.
Bukankah begitu?
Luna, apakah kau dengar aku?
Pernahkan kau mendengarkan aku sebetulnya?
Tapi seberapa banyak yang bisa kukatakan padanya?. Seberapa besar yang bisa kusumbangkan untuk hati yang sudah tertoreh begitu dalam, untuk luka yang sudah menganga begitu lama.
Dan untuk kali pertama sejak aku mengenalnya, aku merasa putus asa. Tak ada lagi yang bisa kulakukan untuknya. Tidak sepatah katapun.
Aku tidak bisa lagi mengatakan padanya tentang ombak dan batu karang. Berdirilah, tegakkan kepalamu dan tantanglah angin. Ombak selalu datang dan pergi. Tetapi batu karang tetap tegak berdiri. Aku lupa, batu karang akan habis terkikis, seiring dengan berjalannya waktu, dan takdir.
Kata-kata bijak, hanya hidup bila ada keyakinan. Ternyata. Dan betapa keyakinan ternyata sangat rapuh. Sesaat saja ia meninggalkanmu, maka habislah.
Seperti Luna.
****
Kubasuh wajahku.
Tanganku.
Telingaku.
Kepalaku.
Kakiku.
Kuambil sajadah dan kukenakan mukenaku dengan bibir bergetar menahan tangis.
Ya Allah, bisikku dalam hati.
Ya Allah.
Dan aku tak bisa berkata yang lain lagi.
Entah sudah berapa lama sejak terakhir kali aku mengucap istighfar tanpa tangis penyesalan. Alhamdulillah tanpa rasa syukur yang tulus. Allahuakbar tanpa hati menggigil ketakutan.
Entah sudah berapa lama sejak aku menundukkan kepalaku di atas sajadah, tanpa merasakan betapa kecil dan sia-sianya manusia.
No comments:
Post a Comment