Wednesday, December 21, 2011

Jendela



Aku punya sebuah jendela. Hanya jendela. Aku sudah lupa di mana pintu berada. Sudah bertahun sejak terakhir aku membukanya.
Aku hanya punya jendela dan aku tak pernah berusaha untuk menemukan pintu. Kalaupun kutemukan, kurasa aku tidak akan bisa membukanya. Engselnya pasti sudah berkarat. Gagangnya berat. Dan, oh, entah di mana kusimpan kuncinya.
Jadi kuputuskan kalau aku hanya punya jendela.
Bukankah dia tidak ada bedanya dengan pintu?
Bukankah dia lebih baik dari pintu?
Aku akan duduk di sampingnya. Berteman matahari pagi, siang, atau sore, atau bahkan malam ketika bintang menggantung atau bulan pucat membulat. Tak masalah.
Di atara bingkai kayu segi empat itu, aku akan duduk memandang lalu lalang kehidupan. Tiap lakon dan pemainnya. Termasuk juga dirimu. Akan kusapa engkau saat melintas di depan jendelaku. Dan kita akan berbincang-bincang tentang apa saja.
Tidakkah itu indah?
Kalau kau suka, aku akan duduk di sini menunggumu setiap hari. Di jendela ini. Di mana akan kau temui separuh dariku yang memang sangat menantimu.  Separuh dariku yang sedang tersenyum menanti kehadiran separuh darimu yang memang sangat kuharapkan untuk membalas senyumku.
Jangan kecewa bila kau temukan jendelaku tertutup. Aku bukan sedang marah padamu. Kau tahu aku suka sekali duduk di jendela dan memandang dunia. Tapi kadang matahari menyengatku terlalu tajam. Dan angin bertiup terlalu kencang, sehingga menerbangkan semua harapan yang kusimpan baik-baik di balik jendela. Atau, kadang kurasa sudah terlalu lama aku duduk di sana menunggumu. Sampai letih tapi kau tak juga melintas. Jadi, kututup saja jendelanya. Agar aku tak tahu kau lewat atau tidak.
Apakah aku sedang bersembunyi?
Tidak, kataku. Aku hanya tak ingin tersengat matahari karena panasnya kadang menyakitiku. Dan aku tak  ingin angin membawa pergi harapan-harapanku. Kau tahu, kadang angin bisa menjadi begitu berkuasa. Meski kututup jendelaku rapat-rapat, ia tetap mendobrak masuk. Hening tanpa suara, namun penuh keangkuhan. Merangsek, menerjang, dan mengobrak-abrik segala yang ada. Lalu pergi begitu saja, menyisakan dedaunan kering dan debu jalan bertebaran dalam rumahku.
Kau tahu?
Kurasa aku hanya takut bila suatu hari kau akan berhenti melintas di depan jendelaku… Apa yang harus kukatakan pada separuh dariku, yang sudah terlanjur terperangkap dalam keterbiasaan bertemu dengan separuh darimu? 


Bintaro, dinihari
Diambil dari postingan lama di sini

No comments:

Post a Comment